Diantara kelebihan AH adalah perhatian terhadap masalah bahasa Arab. Dengan begitu sabarnya al-ustadz AH menjelaskan kepada para hadirin tentang arti-arti kata serta menjelaskan kesalahan-kesalahan dalam penggunaan atau pemaknaan bahasa Arab. Dan ini tentu sangat baik bagi para hadirin. Namun sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya tidak ada seorangpun yang terbebaskan dari kesalahan dan kesilapan -meskipun AH kuliahnya spesial bahasa Arab-. Berikut ini beberapa kritikan kepada al-Ustadz AH dari sisi bahasa.
Pertama : Beliau berpendapat bahwa lafal الوُضُوْءُ wudhu, itu dari kata الضَّوْءُ dhou’ الضِّيَاءُ yang berarti cahaya atau aura kebaikan, lalu ditambah huruf وُ wawu di depannya, menjadi wudhu’ sehingga artinya menjadi sinar yang sangat terang atau aura kebaikan yg semakin tampak. Lihat menit 1:27:30 di link ini: https://www.youtube.com/watch?v=k7OVXaoIWDc
Komentar :
Pengambilan asal kata wudhu dari dhou’ belum pernah saya temukan dalam kitab-kitab kamus bahasa Arab -yang telah saya cek-, demikian juga dalam kitab-kitab fikih. Semua literatur bahasa Arab yang saya baca menyebutkan bahwa lafal الوُضُوْءُ berasal dari الوَضَاءَةُ yang berati الحُسْنُ yang artinya keindahan dan النَّظَافَةُyang artinya kebersihan. Silahkan cek di literatur berikut :
Al-‘Ain li al-Kholil bin Ahmad al-Farohidi (7/77), Tahdziibul Lughoh li al-Azhari (12/70), Mu’jam Maqooyiis al-Lughoh li Ibni Faaris (6/119), Lisaanul ‘Arob li Ibnil Manzhuur (1/195), Taajul ‘Aruus li Az-Zabiidi (1/489).
Demikian juga dalam kitab-kitab ghoribil hadits seperti : Ghoribul Hadiits li Ibni Qutaibah (1/153), an-Nihaayah Fi Ghoriibil Hadiits li Ibnil Atsiir (5/195)
Karena pada asalnya lafal wudhu diambil dari asal kata وَضَأَ yang merupakan fi’il ats-tsulatsi al-mu’tal al-mujarrod (yaitu kata kerja yang terdiri dari 3 huruf asli), jadi huruf و wawu yang ada di depan bukanlah huruf tambahan sebagaimana yang dipersangkakan oleh ustadz AH.
Menurut AH lafal الوُضُوْءُ wudhu, itu dari kata الضَّوْءُ dhou’ الضِّيَاءُ yang berarti cahaya. Padahal berasal dari ضَاءَ dan ini kata kerja ats-Tsulaatsi al-Mu’tal yang lain yang tidak ada hubungannya dengan lafal wudhu. Seandainya lafal الوُضُوْءُ berasal dari الضَّوْءُ lalu ditambah huruf و didepannya maka jadilah kata wudhu itu dari fi’il rubaa’i (yang terdiri dari 4 huruf asli), dan tidak ada seorangpun yang menyatakan demikian.
Demikian juga pernyataan beliau bahwa lafal الضَّوْءُ artinya “aura kebaikan” ini juga baru saya dapatkan dari beliau, seandainya beliau bisa menyebutkan sumber darimana menafsirkan dengan tafsiran demikian??
Kedua : Menurut beliau lafal الْخُطُوَاتَ “Khuthuwat” itu jamak dari الخُّطَّةُ “khuttoh” yang artinya rencana yang matang atau pemetaan yang sangat rinci. (lihat menit ke 46:29 di link https://www.youtube.com/watch?v=f6hd5aN32cE&t=48s).
Dan ini tentu merupakan kesalahan yang fatal, karena lafal الْخُطُوَاتَ adalah jamak dari lafal الخُطْوةُ yang artinya langkah dan berasal dari kata kerja خطو yang aritnya melangkah (Lihat kitab al-‘Ain 4/292, Tahdziibul Lughoh 7/206, Lisaanul ‘Arob 14/231-232). Orang-orang Arab menjamak lafal الفُعْلَةُ dengan الفُعُلاَتُ, seperti الحُجْرَةُ menjadi الحُجُرَاتُ dan الخُطْوة menjadi الْخُطُوَاتَ . Adapun الخُّطَّةُ maka berasal dari kata kerja خَطَّ yang artinya merencanakan dan jamak dari adalah الخطَطُ.
Yang jadi masalah adalah menjadikan kesalahan dalam bahasa Arab ini untuk menafsirkan firman Allah :
وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu (QS Al-Baqoroh : 168)
Ketiga : Beliau menyatakan bahwa lafal mayyit (dengan mentasydid huruf ya’) artinya adalah “akan mati”. Adapun kalau sudah mati maka “mait” (dengan mensukun huruf yaa’). Sehingga kalau ada orang yang menyatakan “engkau mayyit” maka jangan marah, karena maknanya “engkau akan mati”. Silahkan lihat di (https://www.youtube.com/watch?v=u_H_LfVHkjk)
Memang ini adalah pendapat sebagian ulama, akan tetapi pendapat ini adalah pendapat yang marjuh (tidak kuat) karena bertentangan dengan dalil-dalil yang shahih yang menyatakan bahwasanya “mayyit” juga bisa digunakan untuk sesuatu yang sudah mati.
Kesalahan ini telah diingatkan oleh para ulama tafsir, diantaranya adalah :
Ibnu Jarir at-Thobari (wafat 310 H), beliau berkata :
وذلك أن”الميِّت” مثقل”الياء” عند العرب: ما لم يَمتْ وسيموت، وما قد مات
“Hal ini karena al-mayyit -dengan mentasydid huruf yaa’- menurut orang-orang Arab mencakup yang belum mati dan akan mati dan juga yang telah mati” (Tafsir At-Thobari 6/310)
Abu Ishaaq Az-Zajjaaj (wafat 311 H) berkata :
وقال بعضهم الميِّت يقال لما لَمْ يَمتْ.والميْتُ لما قَدْ مَاتَ، وهذا خطأ إِنما ميِّت يصلح لما قد مات، ولما سَيَمُوت
“Sebagian orang berpendapat bahwa al-mayyit dikatakan untuk yang belum mati, adapun al-mait digunakan untuk yang telah mati. Dan ini adalah pendapat yang keliru, karena al-mayyit bisa untuk yang telah mati atau yang akan mati” (Ma’aani al-Qur’aan wa I’roobuhu 2/144)
Ibnu ‘Athiyyah (wafat 542 H) dalam tafsirnya :
وأما «الميّت» بالتشديد فيستعمل فيما مات وفيما لم يمت بعد.
“Adapun ‘al-mayyit’ -dengan mentasydid huruf ya- maka untuk yang telah mati atau yang belum mati” (Al-Muharror al-Wajiiz 1/418, lihat juga 2/150)
Ar-Raazi (wafat 606 H) berkata :
وَهُمَا لُغَتَانِ بِمَعْنًى وَاحِدٍ
“Dan keduanya (al-mayyit dan al-mait) adalah dua bahasa yang maknanya sama” (At-Tafsiir al-Kabiir 8/191)
Demikian juga hal ini telah diingatkan oleh para ahli bahasa, bahwasanya pendapat yang menyatakan bahwa al-mayyit bisa digunakan untuk yang sudah mati dan akan mati adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
Silahkan lihat penjelasan Al-Azhari (wafat 370 H) dalam Tahdziib al-Lughoh (14/244), Abu Hilal al-‘Askari (wafat 395 H) dalam Mu’jam al-Furuuq al-Lughowiyah (hal 525), Az-Zabiidi dalam Taajul ‘Aruus (5/101-102), Ibnu Manzhuur dalam Lisaanul ‘Arob (2/91)
Ibnul Mulaqqin berkata :
و(الْميتَة) : بِالتَّشْدِيدِ وَالتَّخْفِيف، بِمَعْنى وَاحِد فِي موارد الِاسْتِعْمَال…فرَّق قوم بَين الْمَيِّت بِالتَّخْفِيفِ، والميِّت بِالتَّشْدِيدِ (فَقَالُوا) : الأول مَا قد مَاتَ، وَالثَّانِي (مَا) سيموت. وَهَذَا خطأ
“al-mayyit dan al-mait sama maknanya dalam penggunaan…Dan sebagian orang membedakan antara al-mait dengan al-mayyit, mereka berkata al-mait untuk yang telah mati dan al-mayyit untuk yang akan mati. Dan ini adalah kekeliruan” (al-Badr al-Muniir 1/376)
Jadi lafal mayyit sama seperti mait, dan tidak terbatas pada makna “akan mati” saja. Bahkan bisa juga artinya telah mati.
Contoh firman Allah :
وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ حَتَّى إِذَا أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالًا سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ مَيِّتٍ فَأَنْزَلْنَا بِهِ الْمَاءَ فَأَخْرَجْنَا بِهِ مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ كَذَلِكَ نُخْرِجُ الْمَوْتَى لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran (QS Al-A’roof : 57))
Perhatikan firman Allah لِبَلَدٍ مَيِّتٍ (Tanah yang tandus/mati), yaitu sudah tandus mati dan bukan akan mati/tandus
Sebagaimana juga firman Allah
وَاللَّهُ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَسُقْنَاهُ إِلَى بَلَدٍ مَيِّتٍ فَأَحْيَيْنَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا كَذَلِكَ النُّشُورُ
Dan Allah, Dialah Yang mengirimkan angin; lalu angin itu menggerakkan awan, maka Kami halau awan itu kesuatu negeri yang mati lalu Kami hidupkan bumi setelah matinya dengan hujan itu. Demikianlah kebangkitan itu (QS Fathir : 9)
Dan dalam ayat-ayat yang lain dalam topik yang sama Allah menggunakan lafal mait sebagai ganti mayyit, ini menunjukkan bahwa mait dan mayyit makna dan penggunaannya adalah sama.
Contoh firman Allah
وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا (48) لِنُحْيِيَ بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا
Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih. Agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, (QS Al-Furqon 48-49)
Demikian juga dalam hadits-hadits didatangkan dengan lafal mayyit yang juga berarti “sudah mati”. Contoh hadits-hadits berikut dalam shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim ;
«لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ تُحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا»
“Tidak halal bagi seorang wanita mukminah yang beriman kepada Allah dan hari akhirat untuk melakukan ihdaad (yaitu tidak meninggalkan berhias dan minyak wangi) lebih dari tiga hari karena (berduka) atas mayyit (orang yang telah meninggal), kecuali jika berduka karena meninggalnya suaminya, yaitu selama 4 bulan 10 hari” (HR al-Bukhari No. 1280 dan Muslim No. 1486)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
«مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً، كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ، إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ»
“Tidak seorang mayyit pun yang disholatkan oleh sekelompok kaum muslimin yang mencapai 100 orang semuanya memberi syafaat baginya kecuali mereka akan diizinkan untuk memberi syafaat baginya” (HR Muslim No. 947)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَعَائِشَةَ: «أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَبَّلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مَيِّتٌ»
Dari Ibnu Abbas dan Aisyah ; “Bahwasanya Abu Bakar radhdiallahu ‘anhu mencium Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Nabi dalam kondisi mayyit (telah meninggal)”
Ibnu Abbas berkata :
«المُسْلِمُ لاَ يَنْجُسُ حَيًّا وَلاَ مَيِّتًا»
“Seorang muslim tidaklah najis baik tatkala hidup maupun mayyit (setelah meninggal)” (HR Al-Bukhari 2/73)
Umar bin Al-Khotoob berkata :
وَدِدْتُ أَنِّي نَجَوْتُ مِنْهَا كَفَافًا، لاَ لِي وَلاَ عَلَيَّ، لاَ أَتَحَمَّلُهَا حَيًّا وَلاَ مَيِّتًا
“Aku berangan-angan untuk selamat dari urusan kekhilafahan, tidak menguntungkanku dan tidak memberatkan aku, dan aku tidak menanggung beban buntut dari kekhilafahan baik tatkala hidup maupun mayyit (setelah mati)” (HR al-Bukhari No. 7218)
Keempat : Beliau menafsirkan hadits يَتَصَافَحَانِ dengan mengkaitkannya dengan makna as-shofh secara bahasa. Menurut beliau makna as-shofh adalah kelapangan dan tidak ada sekat (silahkan lihat : https://www.youtube.com/watch?v=8QQoXBI2X3U) pada menita ke 8.00 dan seterusnya
Kritikan : Makna as-shofh dalam asal kata bahasa arab bukanlah kelapangan tanpa sekat. Akan tetapi maknanya lebar sesuatu atau sisi sesuatu. Lihat penjelasan Ibnu Faris (Maqooyiis al-Lughoh 3/293) dan Ibnu Manzuur (Lisaanul ‘Arob 2/512-514).
Ibnu Manzzur berkata :
صفح: الصَّفْحُ: الجَنْبُ. وصَفْحُ الإِنسان: جَنْبُه. وصَفْحُ كُلِّ شيءٍ: جَانِبُهُ. وصَفْحاه: جَانِبَاهُ
Karenanya dikatakan أصْفَحه بِالسَّيْفِ إِذا ضَرَبَهُ بعُرْضه دونَ حَدِّه “Dia memukulnya dengan shofhu pedangnya, yaitu dengan sisi pedangnya bukan dengan bagian yang tajamnya” (Lisaanul ‘Arob 2/513):
Ibnu Fariz berkata :
وَمِنَ الْبَابِ: الْمُصَافَحَةُ بِالْيَدِ، كَأَنَّهُ أَلْصَقَ يَدَهُ بِصَفْحَةِ يَدِ ذَاكَ
“Dan termasuk dalam bab ini adalah mushoofahah (berjabatan tangan), seakan-akan ia menempelkan tangannya dengan “sisi/telapak” tangan satunya” (Maqooyiis al-Lughoh 3/293)
Ibnu al-Atsiir berkata :
وَمِنْهُ حَدِيثُ «المُصَافَحَة عِنْدَ اللِّقاء» وَهِيَ مُفُاعلَة مِنْ إلْصاقِ صَفْح الكَفِّ بالكَفِّ
“Diantaranya hadits “Mushofahah/berjabat tangan tatkala bertemu”, dan al-Mushoofahah dalam wazan/timbangan mufa’alah yaitu dari menempelkan sisi telapak tangan dengan telapak tangan” (An-Nihaayah fi Ghoriibil Hadiits 3/34)
Akibatnya menimbulkan kesalahan dalam menafsirkan hadits Nabi مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu saling berjabatan tangan kecuali diampuni bagi mereka berdua sebelum mereka berdua berpisah”
– Melazimkan jika dua orang berjabat tangan namun masih belum lapang diantara keduanya maka belum mendapatkan ampunan. Karena menurut AH makna as-shofhu adalah lapang dada tanpa sekat. AH berkata, -pada menit 9.12 “Jika Anda bersalaman dengan orang ternyata misalnya sekatnya (dalam jiwa) tidak hilang, apalagi Anda Anda salaman begini dan mukanya begini, satu ke barat dan satu ke timur itu bukan mushofahah namanya”
– Jika as-shofhu dalam hadits tersebut maknanya adalah lapangnya dada dan tidak ada sekat maka susah akan mengamalkan hadits ini. Karena harus tidak ada sekat dulu baru bisa mengamalkan hadits ini ?!. Justru hadits ini (saling berjabat tangan) diamalkan terlebih dahulu -meski di hati ada sekat- agar dengan berjabat tangan sekatan-sekatan tersebut akan pudar dan menghilang.
Tentu masih banyak kritikan-kritikan lain tentang perihal bahasa, namun hanya ini dulu yang sempat penulis bisa berikan sebagai masukan. Wallahu a’lamu bisshowaab.
Mekkah, 12-07-1438 H / 09-04-2017
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com